Thursday, April 10, 2008

Kuching – Bangkok – Kuala Lumpur (1)

Bagian (1).
Salam dan Sejahtera,

Kamis, 7 November 2007, arloji ditangan belum menunjukkan pukul 12:00, tapi kami sekeluarga sudah berada di terminal 1A Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Hari ini kami akan memulai lagi perjalanan "liburan tahunan keluarga" yang sudah menjadi tradisi keluarga kami sejak beberapa tahun yang lalu, tetapi kali ini terasa sangat istimewa karena dalam liburan kali ini, selain lengkap sudah jumlah keluarga kami, juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kami karena Tuhan telah berkenan mengijinkan saya mengakhiri masa dinas aktif saya sebagai PNS di Departemen Pekerjaan Umum dengan selamat dan berkenan pula memberikan calon cucu melalui perkawinan anak kami yang paling bungsu yang menikah pada bulan Agustus 2007 yang lalu, seorang "calon cucu" yang belum kami ketahui jenis kelaminnya yang saat ini ada didalam perut Kris.
Tepat pukul 14:50 pesawat Adam Air yang membawa kami sekeluarga melesat dari Bandara Internasional Cengkareng, membelah langit yang gelap gulita karena awan hujan yang sangat tebal. Suhu udara didalam cabin pesawat terasa sangat dingin seiring dengan hujan yang cukup lebat yang ada diluar…, pesawat terbang dengan sempurna menuju kearah timur laut dan tanpa terasa 1 jam 20 menit kemudian pesawat ini telah mendarat dengan mulus di Bandara Supadio - Pontianak masih dalam kondisi hujan yang mengguyur cukup deras. Urusan pengeluaran bagasi dari pesawat agak sedikit terganggu karena faktor cuaca tadi, namun akhirnya 30 menit kemudian kami semua sudah berada diatas mobil kijang “Gio” keponakan ketemu gede di Pontianak (putri dari jeng Nuniek, teman yang mengurus tiket-tiket penerbangan kami kali ini) untuk menuju ke obyek wisata yang cukup bergengsi di Kalimantan Barat, yaitu Tugu Katulistiwa.

Acara foto bersama Giovanni dan temannya dengan latar belakang Tugu Katulistiwa merupakan kenangan manis bagi kami sekeluarga, khususnya untuk istri dan anak-anak saya karena ini adalah kesempatan mereka untuk pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan Barat. Dalam kesempatan ini kami tidak melupakan juga untuk mencicipi pisang goreng Pontianak yang sangat terkenal itu, tetapi terasa lebih nikmat karena dibeli dan dimakan langsung di Pontianak.
Lepas dari Tugu Katulistiwa kami kembali ke Pontianak, tapi kali ini tidak harus lagi memutar dan menyeberang melalui dua buah jembatan yang sangat panjang seperti halnya pada saat kami berangkat tadi, karena kami memutuskan untuk menggunakan kapal penyeberangan yang langsung bersandar di tengah kota. Setelah menumpang mandi dirumah Gio… kami masih sempat berkeliling kota Pontianak, makan malam bersama disalah satu Mall terbesar di Pontianak sebelum akhirnya kami diantar ke agen bus EVA di Jl. Sisingamangaraja No. 143A yang akan membawa kami menuju ke Kuching melewati perbatasan Entikong/Tebedu.
Bus malam EVA EXPRESS S/B milik perusahaan Malaysia dengan kapasitas 20 tempat duduk yang kali ini hanya diisi 19 orang yang berangkat pada jam 21:00 dari Pontianak ini terasa cukup nyaman. Salah satu kekurangannya kalau itu boleh disebut sebagai kekurangan hanyalah karena bus ini berangkat pada malam hari dari Pontianak, sehingga tidak banyak hal-hal yang bisa dilihat selama dalam perjalanan. Bus ini berhenti beberapa kali di warung2 kecil disepanjang perjalanan, selain untuk beristirahat sejenak juga dimaksudkan agar bisa menyesuaikan waktu sampai di perbatasan Entikong sekitar pukul 06:00 pagi, tepat pada saat border ini mulai dibuka. Pengalaman menarik yang kami alami pada waktu melintasi perbatasan darat Indonesia – Malaysia di Entikong ini adalah tidak dipungutnya biaya fiskal bagi para pelintas perbatasan, entah mulai kapan hal itu dihapuskan…. Karena beberapa tahun yang lalu saya masih harus membayar fiskal Rp. 100.000,-- pada saat melewati perbatasan ini. Selepas dari Entikong, kita harus berjalan kaki di “daerah tidak bertuan” sebelum memasuki perbatasan Sarawak – Malaysia di Tebedu, suasana disini tidak seramai di Entikong dan tidak terasa ternyata sekarang kita sudah ada dinegara tetangga.

Perjalanan selanjutnya menuju ke kota terbesar yang sekaligus adalah ibukota propinsi (negara bagian) Sarawak – Malaysia, tetap kami lanjutkan dengan bus EVA, sungguh sangat jauh sekali bedanya jalan-jalan yang ada dinegara tetangga kita ini dengan jalan-jalan yang ada di Indonesia pada umumnya. Disini terlihat bahwa pembangunan jalan yang ada mengikuti standard internasional, ditepi jalan terdapat berem yang ditanami dengan rumput, setelah itu ada gaterail seperti yang ada di jalan tol, sementara dibelakangnya ada parit yang cukup lebar yang dapat menampung air cukup banyak bila terjadi hujan dan dibelakang parit tadi masih terhampar tanah yang cukup luas, sebelum terlihat beberapa rumah kecil-kecil nun jauh diujung sana dan tanpa terasa hanya kurang lebih 90 menit sejak kita meninggalkan Tebedu kami sudah sampai di Terminal Bus Air Hitam yang ada di tengah kota Kuching.

Sebuah minibús warna putih dengan tulisan Konsulat Jenderal Republik Indonesia / Consulate General of The Republic of Indonesia Kuching – Sarawak telah menunggu untuk membawa kita ke Wisma Indonesia. Selesai sudah perjalanan kami melintasi perbatasan darat Indonesia – Malaysia di Pulau Kalimantan, nantikan cerita kami selanjutnya di bagian (2).

Best regards : Bambang dan Lucy Setiawan.